Search This Blog

Thursday, March 31, 2016

5 Guru Kecilku #2

Judul: 5 Guru Kecilku #2
Penulis: Kiki Barkiah
Editor: Aditya Irawan
Penerbit: Mastakka Publishing
ISBN: 9786027327412
Cetak: Desember 2015
Tebal: xxvi + 237 hlm
Bintang: 5/5
Harga: Rp. 80.000


"Kiki... Sesungguhnya Allah tidak meminta kamu untuk menyelesaikan semuanya sendirian. Allah hanya meminta kamu taat! Sehingga Allah sendiri yang akan menyelesaikan persoalan kamu." (h. 28)

Masih sama seperti 5 Guru Kecilku bagian pertama, seri terbaru ini juga sangat menginspirasi, minim teori tapi padat dengan realitas. Pada buku ini saya menemukan Ali sudah memasuki masa remaja, di mana kemandirian dalam belajar terbaca luar biasa. Momen Ali yang paling mengena dalam buku ini adalah saat kerinduan Ali dengan sosok Ayah yang tak lagi bisa memberikan perhatian penuh kepadanya, karena banyaknya adik yang juga membutuhkan perhatian. Momen yang mungkin juga akan dilalui Sulung saya.

Syafiyah agak jarang dikulik dalam buku ini, seingat saya hanya sekilas-sekilas, dan sekalinya muncul ketika Teh Kiki mencurahkan cita-citanya terkait Syafiyah kelak --- tapi tetap bisa dijadikan referensi mendidik putri. Pada bagian kedua ini Teh Kiki masih 'bergulat' dengan emosi Shiddiq, sedangkan Rafiq juga mulai menunjukkan aksinya, perebutan perhatian orangtua kerap menjadi alasan 'pertempuran' mereka.

Mendengarlah... Diammu sejenak untuk duduk bersama dan mendengar perasaan mereka, mungkin kelak turut dapat menyelamatkan masa depan mereka (h.22)

Cerita paling menyentuh bagi saya adalah Andai Saja Aku Mau Mendengar Satu Kalimat Lagi, kisah yang menohok apalagi mengingat kesabaran saya yang sering pupus ketika berhadapan dengan Si Sulung, Miza. Niat baik anak terkadang disalahpahami orangtua ketika mereka melakukannya dengan tindakan dan komunikasi yang tidak tepat. Padahal, di usianya yang masih kecil, mereka sedang belajar bagaimana melakukan sesuatu dengan benar, reaksi orangtua yang tidak tepat bisa memupuskan kebaikan anak.

Setiap cerita memberikan referensi bagi pembaca untuk berhadapan dengan anak. Mengelola emosi, memenuhi aktivitas dengan berdiskusi, kerjasama apik dari suami-istri dan keyakinan bahwa Allah selalu membersamai membuat setiap pengalaman terasa bisa diandalkan untuk dijadikan bekal mendidik anak. Cerita Satpam Gadjet yang Cerewet membuat saya tertawa tetapi juga mengagumi komitmen dan ketekunan dari Teh Kiki dalam membimbing setiap buah hatinya menjadi pribadi berdaya guna, sekaligus bertaqwa.

Modal yang paling utama adalah kepercayaan kepada Allah. Bahwa Allah telah memasangkan seorang anak dengan orangtuanya. Maka ketika Allah menitipkan seorang anak dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Allah juga akan menitipkan sekian ilmu dan kemampuan kepada orangtua dalam membimbing mereka, jika orangtua tersebut mau meraihnya. (h.96)
Readmore → 5 Guru Kecilku #2

Sunday, March 13, 2016

Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil

Judul: Sheila, Luka Hati Seorang Gadis Kecil 
Penulis: Torey Hayden
Penerjemah: Rahmani Astuti
Penerbit: Qanita
ISBN: 9793269065
Cetak: Keenam, Februari 2014
Tebal: 478 hlm
Bintang: 3/5
Harga: Rp 20.000 (Beli Seken)


Baik saya mau mengakuinya atau tidak, kehidupan di kelas saya merupakan perang tanpa henti. Bukan hanya dengan anak-anak melainkan juga dengan diri saya sendiri. ~ h.85

Torey adalah seorang psikolog pendidikan yang memiliki kelas 'terapi' dengan anak-anak yang memiliki masalah berat dalam hidupnya. Saya mengajar di sebuah kelas yang, di distrik sekolah kami, memiliki julukan sayang: "kelas sampah." Saat itu merupakan tahun terakhir sebelum dimulai upaya mengklasifikasikan anak-anak khusus; tahun terakhir untuk memilah-milah semua anak yang memiliki kelainan ke dalam kelas tersendiri.... Saya mendapat delapan anak tersisa, delapan anak yang tidak masuk klasifikasi. Saya adalah perhentian terakhir sebelum mereka dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Itu adalah kelas untuk manusia buangan yang masih muda.

Sheila hadir di kelas agak terlambat, dari awal tahun ajaran. Kasusnya membakar anak kecil menjadikan dia, anak bermasalah dengan kategori berat. Perlakuan Ayahnya dan ditinggalkan di jalanan oleh ibunya menjadikan Sheila biang masalah di semua sekolah yang pernah ditempati, ditambah lagi, dia selalu kesulitan dalam mengendalikan emosi. Torey berhadapan dengan anak yang baru berusia 5 tahun tapi memiliki banyak konflik dalam dirinya.

Dia (Sheila) terbiasa memperjuangkan apa yang diinginkannya. Jika seseorang mengambil tempat dalam barisan yang telah dipilihnya, dia memukul orang itu cukup keras untuk mendapatkan kembali ~ h. 164

Akan tetapi, masalahnya lebih dari sekadar menghancurkan kertas atau bahkan bayi gerbil. Balas dendam itu benar-benar diperhitungkan dan dipendamnya lama, sering disebabkan hal-hal tidak sengaja dilakukan orang terhadapnya. ~ h. 181

Sheila terbiasa disakiti pikirannya sehingga ketika ada orang yang berlaku baik padanya, rasa curiga dan tanda tanya besar beberapa kali muncul dalam pertanyaan-pertanyaannya kepada Torey. "Kenapa kau melakukan ini?" pertanyaan yang muncul saat Torey menunjukkan kasih sayangnya atau memberikan hadiah. Proses membimbing Sheila memperbaiki karakter terasa perlahan dan penuh kesabaran, bahkan saya terkadang merasa bosan karena perubahan Sheila terasa lambat dan berputar-putar.

Kepergian Torey selama dua hari untuk konferensi pendidikan ternyata berakibat fatal. Sheila yang dikiranya  sudah bisa mengendalikan emosi, ternyata kembali meluapkan kemarahannya dengan menghancurkan kelas. Rasa sakit hati Torey, yang sebelumnya menaruh kepercayaan besar kepada Sheila, membuat saya ikut merasa marah kepada Sheila. Tapi, lagi-lagi Torey harus bisa mengatasi 'perang tanpa henti' dalam dirinya.

Bagian yang agak menggoncang adalah kasus dengan Paman Jerry. Sebenarnya dari awal saya sudah memikirkan kemungkinan akan menemukan kasus pelecehan seksual dalam buku Sheila, tapi saya tidak menyangka akan semengerikan itu. Saya syok. Butuh jeda untuk bisa melanjutkan membaca memoar Sheila ini. #ngelusdada

Catatan Torey Hayden dalam menangani murid-muridnya, terutama Sheila, sangat menarik. Torey selalu jujur dengan setiap anak didiknya, dia menyampaikan apa yang dirasakannya dan tak canggung menjawab, tidak tahu. Mengedepankan diskusi meski mereka baru berusia 5-6 tahun, dan memancing anak didiknya untuk mencari solusi dari masalah yang terjadi. Satu lagi yang disoroti dalam buku ini, Torey tidak menampilkan dirinya sebagai orang yang sempurna, tapi seorang pembelajar yang tak segan belajar dari anak didiknya.
Readmore → Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil

Tuesday, March 1, 2016

Jangan Bercerai, Bunda

Judul: Jangan Bercerai, Bunda
Penulis: Asma Nadia, dkk
Editor: Diyan Sudihardjo, Nabila Fadiyah
Penerbit: Asma Nadia Pusblishing
ISBN:  9786029055207
Cetak: September, 2013
Tebal: 285 hlm
 Bintang: 3/5

 Perceraian harus dilihat sebagai pintu darurat yang hanya dibuka jika memang sudah tidak ada pilihan lain
Cerai. Kata tabu yang menyimpan banyak ketakutan, tapi pada kondisi tertentu sangat dibutuhkan untuk mengembalikan harapan hidup. Alhamdulillah, dalam keluarga intinya saya, belum ada talak yang pernah terucap, Nau'udzubillah min dzalik. Tetapi, perceraian cukup mudah ditemukan di sekitar, dari keluarga besar atau tetangga. Apalagi, telinga dan mata dicekoki berita-berita perceraian artis melalui infotainment atau berita di laman-laman dunia maya.

Perhelatan nikah yang selalu disambut dengan sumringah, sejatinya membutuhkan perjuangan dan komitmen yang tak luput dari air mata. Adanya orang ketiga, perbedaan prinsip, dan kekerasan dalam rumah tangga menjadi alasan jatuhnya talak, yang banyak ditemukan dalam kumpulan kisah nyata, Jangan Bercerai Bunda

"Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah Talak / cerai”

Perceraian memang dihalalkan, tetapi dampak/perubahan yang ditimbulkan tidak main-main. Tak hanya untuk si pelaku (suami-istri) tetapi juga anak atau orangtua masing-masing. Sehingga Allah pun menjadikan perceraian adalah perkara yang dibenci. Anak adalah pihak yang sering menjadi korban, apalagi jika orangtua masih tetap menggenggam ego dan kebencian pada si 'lawan' setelah perpisahan. 

Aku menyesali proses kami berpisah. Aku benar-benar tidak memperhatikan dampak psikologis anak-anak, terutama Putri.... sebenarnya bisa saja kami tidak harus bercerai. Atau paling nggak kami berpisah dengan baik-baik, kalau saja saat itu aku nggak terbawa emosi, bertindak tanpa membabi buta, dan tidak egois hanya memikirkan menang ~ h.33

Anak membutuhkan sosok ayah dan ibu dalam perkembangannya. Kasih sayang utuh, walaupun orangtua sudah dalam posisi berpisah. Meski tidak dipungkiri, banyak juga anak yang kekurangan kasih sayang akibat orangtuanya terlalu sibuk dengan aktivitas/pekerjaan. 

Yang kutahu Bilfa tak pernah menyesali keadaan. Dia hanya rindu ayahnya, bukan meratapi perpisahan orangtuanya. ~ h.18
Apa keluarga baru Ibu bukan keluargaku? Lalu keluargaku yang mana? Jadi aku tidak punya keluarga? Sungguh membingungkan ~ h. 183

Mengalahkan ego setelah perceraian, demi memberikan kasih sayang pada anak sesuai kapasitasnya, bisa jadi hal yang sangat sulit. Seperti ketika orang lain melukai hati kita, tapi kondisi tetap memaksa untuk bertemu dengan sosoknya, pastinya membutuhkan kelapangan hati yang luar biasa. Perceraian tak jarang menjadi pilihan yang membutuhkan pemikiran panjang meski kondisi sudah kepayahan. Ketakutan akan status anak, jadi omongan tetangga, masalah ekonomi, menjadi pertimbangan-pertimbangan dalam memutuskan perceraian.

Demi hak Fatimah untuk mempunyai orangtua yang lengkap, aku merelakan diri menerima kekerasan dalam rumah tangga berhari-hari. Tapi aku manusia juga yang ada saatnya melemah karena ujian berat.

Mudahnya diri terbawa emosi, ego yang tinggi, nurani yang kerap terabaikan, memperlihatkan betapa lemahnya manusia. Ketika goncangan rumah tangga dan kebingungan begitu kuat, manusia membutuhkan pegangan yang kokoh dan pemberi keputusan terbaik. Istikharah, menyertakan Allah dalam setiap pengambilan keputusan, sangat diperlukan. Saya menemukannya keistimewaaan Iistikharah dalam cerita 'Saat Untuk Berpisah'  

Salah satu kisah yang menurutku paling menarik adalah Ketika Cinta Pergi. Saya dibuat geleng-geleng kepala dengan kebrutalan pihak keluarga lelaki dalam memisahkan Shinta dan Adhi. Sekuat-kuatnya mereka mempertahankan ikatan, tapi saat keluarga tidak merestui, perceraian bisa terjadi.  Pernikahan tak selalu indah, tapi juga tak melulu sedih. Perlu niat awal dan tujuan yang lurus untuk bisa mempertahankan keutuhan keluarga.
Ternyata 30 tahun belumlah cukup untuk saling memahami dan menghargai pasangan. Di sinilah aku semakin mengerti, ternyata cinta saja tidak cukup dalam membangun rumah tangga. Saat Allah dianggap bukanlah tujuan dalam membina rumah tangga, saat itu pula semua akan goyah. ~ h. 253
Readmore → Jangan Bercerai, Bunda
 

Sahabat si Cilik Template by Ipietoon Cute Blog Design