Search This Blog

Monday, November 28, 2016

Orang Jujur Tidak Sekolah

Penyunting: Pratiwi Utami
Penerbit: Bentang Pustaka
ISBN: 978-602-291-062-6
Cetak: Kedua, Maret 2015
Tebal: xii + 264 hlm
Bintang:  4/5
Harga: Rp. 49.000 (Diskon 20% di Toko Buku Online)
 

Berawal dari ketidakjujuran UAS yang dilaluinya, Rizki memutuskan untuk mencari dan meraih pendidikannya sendiri. Melihat bocoran jawaban UAS yang beredar pada teman-temannya, membuat idealismenya memberontak. Dia gerah bersekolah, tapi pendidikan masih menjadi bekal penting dalam pemikiran dan hidupnya. Pendidikan tetap harus diraihnya, meski tanpa hadir di sekolah. Pilihan yang berujung pada keputusan keluar dari SMA dan mendapatkan pendidikan yang lebih ‘membebaskan’.

Sekolah terkadang terasa mengekang dalam metode belajar yang sebatas kelas, padahal belajar bisa didapat dari mana saja. Rizki merasa lebih suka menggali ilmu pengetahuan dengan caranya sendiri. Berdiskusi atau bertanya langsung kepada guru yang bersangkutan menjadi pilihannya saat duduk di bangku SMP karena dengan cara ini membuatnya mudah untuk memahami materi. Meski terkadang caranya yang anti-mainstream mengundang kejengkelan dari guru karena ketidakpuasan Rizki dalam bertanya.
“Aku sering membolos karena tak punya ongkos membayar angkot. Lalu, apa aku tak berhak mengenyam pendidikan yang layak? … Apakah otomatis hal itu membuatku tidak bisa berkompetisi denga mereka? Bagiku, belajar adalah fitrah manusia. Kita terlahir dengan insting untuk belajar dalam diri kita. … Belajar dalam kamusku berada dalam konteks yang sangat luas.”

Masa kecilnya yang tidak terlalu menyenangkan bisa jadi membentuk karakternya yang ‘keras’ dan setiap ada kemauan akan diusahakan sekeras mungkin. Selain itu, kondisi ekonomi yang tidak menentu dan utang yang terus ‘gali lubang tutup lubang’ membuat pilihannya terlihat lebih realitis. Untungnya, Andri termasuk anak yang berani bertanggungjawab dengan pilihannya. “Aku makhluk yang benar-benar lepas dan keluar dari sistem yang ada. Aku hanya berpegang pada kemampuan berpikir dan naluri diri sendiri untuk menjalani kegiatan pendidikan yang saat itu kujalani.”

Meski terlihat tangguh, ada kalanya Andri kelelahan dengan sistem yang dipilihnya. “Saking stresnya, aku telentang di jalan perumahan saat hujan deras sedang turun. Aku tak kuat … Aku tidak bisa menampik itu. Setinggi apapun idealism yang kupegang, nyatanya tak semulus yang telah kurencanakan sebelumnya. Tangis, tawa, stress, tertekan sampai depresi, semua rasa itu telah kualami sewaktu belajar secara autodidak.”

Sekolah Menengah Atas (SMA) dilaluinya hanya dalam waktu setahun, dan berhasil masuk ke perguruan tinggi, Universitas Indonesia, Jurusan Hukum, yang juga dilalui dalam waktu singkat, tiga tahun. Pengalamannya dalam meraih pendidikan yang tidak mulus, membangkitkan misi dalam hidupnya untuk menyampaikan pendidikan tanpa harus ke sekolah dan ketergantungan pada dana.

Setelah lulus, Andri mendirikan Masjidschooling, semua prasarana dipenuhi dengan swadaya mandiri, hanya berbekal papan tulis, pena, dan tutor untuk memulai pendidikan. Meski peserta hanya satu orang, kelas harus tetap dibuka. Jika tidak ada peserta Andri dkk akan bergerak untuk menjaring peserta langsung dari pintu ke pintu. Modal nekat, tekad kuat, seperti menjadi slogan Rizki melaksanakan apa yang diinginkannya, ditambah dengan ‘yang penting niatnya baik’.
“Masjidschooling dan YPAB (Yayasan Pendiri Anak Bangsa) bukanlah pabrik ijazah. Tujuan kami adalah menciptakan ‘transfer of knowledge’ yang riil dari pendidik dan peserta didik. … Harus kuakui, mengubah mindset mendapatkan ijazah dengan ‘instan’ tersebut tidak mudah. Belum banyak yang menyadari manfaat pendidikan.”

Pastinya hambatan selalu hadir, tapi salah satu alasan Andri mampu melalui semuanya adalah kestabilan emosi yang dimilikinya. Banyak orang pintar di negeri ini, tapi Andri ‘cukup’ pintar dalam membesarkan hatinya setiap kali mengalami kegagalan. Kemampuan inilah yang membuatnya mampu bertahan menghadapi cercaan semasa dia mencari pendidikan, bahkan saat dia bergerak dalam Masjidschooling dan YPAB.

Meski jenis buku ini masuk ke biografi, tapi isinya banyak mengkritik pendidikan di Indonesia. Sudah pasti sudut pandangnya tergolong subyektif karena didasari pengalaman pribadi tanpa adanya pencarian data terkait pelaksanaan pendidikan di Indonesia secara keseluruhan. Tapi, tujuan buku ini sebenarnya untuk menyebarkan ide yang dimiliki Rizki dan memberikan sebuah pandangan baru tentang media pendidikan yang tidak melulu harus di sekolah formal.
“Apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai. Kadang kita kehilangan karakter diri, integritas, dan kejujuran hanya karena mengikuti tren yang berlaku di masyarakat. Bagaimanapun hasil akhirnya, setidaknya hiduplah sesuai dengan nilai-nilai yang kita yakini.” (h.46)

Readmore → Orang Jujur Tidak Sekolah

Friday, November 18, 2016

Sherlock, Lupin dan Aku; Kawanan si Nyonya Hitam

Judul: Sherlock, Lupin dan Aku; Kawanan si Nyonya Hitam
Judul Asli: Sherlock, Lupin & Io: Il Trio Della Dama Nera
Penulis: Irene Adler
 Penerjemah: Tanti Susilawati
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer
ISBN 10: 602-249-322-6
Cetak: Ketiga, Juli 2016
Tebal: 263 hlm
Bintang: 3/5
Harga:  Rp. 45.000 (Diskon di Toko Buku Online)


“Siapa bisa membayangkan kisah yang lebih menakjubkan daripada kisah itu? Seorang korban ditemukan tewas di pantai, yang semasa hidupnya memiliki dua nama dan dua kamar di hotel berbeda, di kota yang sama! Kemudian, seorang lelaki lain, yang tak kalah misteriusnya, terlihat olehku saja, tapi aku yakin dia sudah melihat kami semua.” (Irene – h.98)
Sherlock Holmes dan Arsene Lupin, nama yang pasti familiar bagi penggila buku misteri, yang satu detektif, satu lagi, pencuri dan keduanya termasuk karakter tokoh fenomenal. Tapi, itu berlaku saat mereka telah menjadi dewasa. Nah, buku ini menyuguhkan mereka dalam bentuk anak-anak, masih jauh sebelum nama mereka menjadi terkenal. Kisahnya sendiri, diceritakan dari sudut pandang Irene Adler, seorang yang kelak akan menjadi wanita yang dicintai Sherlock Holmes.
 
Kasus pertama mereka adalah kejutan berupa penemuan mayat terdampar di pantai. Dalam kantong si mayat, mereka menemukan batu-batuan yang digunakan untuk menenggelamkan mayat dan sepucuk surat berisi, “Laut akan menghapus kesalahanku.” Semakin mengejutkan saat Irene ketakutan melihat sesosok berjubah yang mengawasi mereka dari hutan. Lain halnya dengan Sherlock dan Lupin yang lebih menampakan rasa penasaran dengan si mayat.
“Aku tak paham bagaimana mungkin mereka bisa begitu tenangnya. Jantungku sendiri berdetak bertalu-talu, dan tangan serta kakiku terasa beku. Tetapi dua bocah ini malah tampak seperti … dokter di ruang operasi.” (Irene – h.66)
Sherlock dan Lupin merasa tertantang untuk menyelidiki kematian si mayat. Di sela-sela kehebohan desa dengan penemuan mayat, ketiga bocah ini pun beraksi dengan tenang supaya tidak memancing kecurigaan. Penemuan dua identitas, ditambah kegemparan akibat hilangnya kalung berlian milik Nyonya Martigny, menjadikan kasus semakin membingungkan. Sangkaan adanya keterkaitan antara dua peristiwa, yang terjadi dalam rentang waktu berdekatan, ini pun muncul.
 
Sampai suatu ketika, aktivitas penyelidikan Sherlock, Lupin dan Irene mengganggu sebuah kelompok rahasia. Penyerangan pun terjadi dan menyebabkan Sherlock dan Lupin harus mengalami luka-luka lebam, untunglah mereka memiliki keahlian berkelahi. Berkat kejadian itu, akhirnya celah terbuka, melalui salah satu pelaku pemukulan di jalanan yang dikenal Lupin. “Aku tidak tahu seberapa jauh keterlibatan Spirou dan kawanannya itu dalam kasus ini, tapi sepertinya mereka tahu lebih banyak dari kita.” (h.170) Mereka pun mulai membuntuti Spirou hingga ke sebuah gedung tua dimana sebuah kelompok rahasia mengadakan pertemuan.
 
Penyelidikan mereka mulai menemukan titik terang dan menjadi lebih mendebarkan karena adanya aksi kejar-mengejar di atap rumah. Bahkan berlanjut dengan mulai terungkapnya misteri di balik identitas si mayat. Alur penyelidikan berjalan lambat karena seringnya adanya selingan tentang keadaan keluarga masing-masing tokoh, Sherlock, Lupin dan Irene. Namun, jalan-jalan mereka di pantai, mendayung di lautan sampai ke Rumah Ashcroft tetap mengasyikkan. Tak ketinggalan, kejutan tetap hadir sampai lembaran terakhir buku.
“Kasus-kasus dipecahkan melalui banyak detail, dan detail-detail itu sebenarnya sederhana saja: hasil-hasil sepele dari penyelidikan salam sebuah perkara.” (h. 77)

Readmore → Sherlock, Lupin dan Aku; Kawanan si Nyonya Hitam

Saturday, November 12, 2016

Brooke Shields

Judul: Kisah Nyata sang Bintang Melawan Depresi Pasca-Melahirkan
Judul Asli: Down Came the Rain
Penulis: Brooke Shields
 Penerjemah: Berliani M. Nugrahani
Penerbit: Qanita
ISBN: 979-3269-59-6
Cetak: Pertama, Februari 2007
Tebal: xvi + 296 hlm
Bintang: 4/5




Memiliki anak pasti menjadi dambaan sebagian besar pasangan, seperti itu juga yang dirasakan Brookie dan Chris. Namun, perjalanan mereka mendapatkan anak tidak mudah. Perjuangan Brookie dan Chris dipaparkan pada awal memoir Brooke Shields, seorang aktris papan atas Hollywood. Leher rahim Brookie yang mengalami penyempitan membuatnya sulit untuk dibuahi. Beragam metode dan pengobatan dilakukannya, dengan kestresan yang sering membarengi prosesnya.

“Aku adalah seorang perfeksionis dan selalu menunjukkan prestasi luar biasa sehingga aku kesulitan bertoleransi pada kegagalan.” (h. 68)
IVF (In Vitro Fertilization)/ Prosedur Bayi Tabung dilakoni Brookie dengan proses yang panjang dan melelahkan, yang mencakup obat-obatan, suntikan dan pembedahan. Proses yang menjengkelkan tapi harus dijalani karena tidak adanya pilihan. Pada bagian ini, rasanya saya ikut miris membaca bagaimana ‘sengsara’ proses yang harus dijalani Brookie, apalagi ketika perjuangannya ternyata berujung pada pengguguran.

“Aku sedang berada di tengah proses kehilangan anakku, dan yang bisa kulakukan hanyalah menunggu. Betapa mengenaskan rasanya, melahirkan tanpa bisa mengharapkan hasil yang positif. Tentunya akan lebih mudah menahan rasa sakit ini saat seorang bayi menanti sebagai imbalan.” (h. 29)
Meski mengalami kegagalan dan membutuhkan pemulihan tubuh yang tidak sebentar, Brookie dan Chris kembali mencoba sekali lagi tanpa berharap besar. Namun, kepasrahan ini malah berbuah manis dengan pernyataan dokter, “Well, hasil tes ternyata positif. Anda hamil!” Suka cita memenuhi hati pikiran Brookie dan Chris, meski masih ada ketakutan akan mengalami kegagalan kembali. Rentetan kejadian dari upaya hamil sampai melahirkan menciptakan rasa sedih, haru, tapi juga kocak karena gaya bertutur Brookie yang asal ceplos, belum lagi sang suami, Chris penulis skenario komedi, yang memang sudah lucu. Kisah yang seharusnya mengharu-biru, malah bisa membuat pembaca senyum simpul atau tertawa.

“Mengapa aku lebih sering menangis daripada bayiku? Lihatlah aku, akhirnya menjadi seorang ibu dari bayi perempuan cantik yang kudapatkan dengan susah payah, dan aku justru merasa kehidupanku telah berakhir.” (h. 91)
“Aku selalu menyangka bahwa saat seorang bayi memasuki kehidupanku, semuanya akan berada di tempat yang tepat, dan aku akan dengan mudah mengikuti kehidupanku yang baru.” (h. 124)
Kebahagiaan yang seharusnya hadir bersamaan dengan kelahiran bayi mungilnya, Rowan, ternyata tak kunjung muncul. Ketakutan dan kegelisahan malah membengkak dalam benak Brookie. Setelah melewati sembilan bulan dengan penuh gairah dan anugerah, tiba-tiba impiannya menjadi berantakan. Keterikatan dengan sang bayi, yang dipikirnya akan terjadi secara alamiah, ternyata tidak menjadi kenyataan, bahkan dia merasa tidak tahan berdekatan dengan Rowan. Kondisi drop ini tidak hanya berpengaruh pada hubungan ibu-anak, tapi juga pernikahannya dengan Chris. Chris khawatir melihat kondisi emosi istrinya, bahkan ada rasa takut jika sewaktu-waktu Brookie melakukan tindakan ekstrem. Peran Chris, sebagai suami juga sangat besar, bahkan titik balik perubahan Brookie bisa dibilang saat suaminya menangis melihat kondisinya.

“Bagi seorang aktris, hal ini bisa cukup menakutkan. … Setelah menghabiskan sepanjang hidupku dengan  bekerja, di sinilah aku sekarang menjadi pengangguran. Aku tidak punya penghasilan sendiri dan tidak sedang melakukan apapun yang kuanggap pekerjaan.
Meski berisikan keluhan Brookie, buku ini juga memuat pendapat para dokter yang sering dikunjungi Brookie. Kondisi masa lalu, kelelahan, proses melahirkan yang meninggalkan trauma, psikologisnya sebagai anak, ketakutan tanpa beralasan, pribadi yang perfeksionis menjadi sebagian penyebab depresi pasca melahirkan yang menimpa diri Brookie. Perubahan yang tidak singkat dan emosi yang naik-turun, mengiringi perjalanan Brookie untuk menemukan ikatan antara dirinya dan Rowan.

“Bagiku, menjadi seorang ibu juga berarti merasakan kebahagiaan yang tak pernah terbayangkan dan kesedihan yang tak pernah terpikirkan. (h. 266)
Readmore → Brooke Shields
 

Sahabat si Cilik Template by Ipietoon Cute Blog Design