Search This Blog

Wednesday, December 14, 2016

Wonderful Life

Judul: Wonderful Life | Penulis: Amalia Prabowo | Penyunting: Hariadhi & Pax Benedanto | Penerbit: POP | Terbit: 2015 | Tebal: 169 hlm | Harga: Rp. 50.000 (Diskon di Toko Buku Online) | Bintang: 3/5


 Kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
Amalia Prabowo, terlahir dari keluarga yang tergolong perfeksionis, terutama dari didikan Sang Bapak. Perencanaan menjadi hal yang penting dalam setiap pengambilan keputusan. Semua harus dipikirkan dan dirumuskan dengan baik supaya mendapatkan hasil yang baik pula. Pendidikan adalah nomor satu. Kesempurnaan seperti menjadi target utama setiap kali Amalia melakukan sesuatu. Sebuah pendidikan yang cukup ‘keras’ menurut saya.
“Sejak kecil hidupku sangat teratur dan terencana---istilahnya sekarang selalu melakukan plan-do-review. Hampir tidak pernah aku terjebak dalam situasi panik, terburu-buru, senewen dalam mengerjakan tugas. Semua rapi jail, aman terkendali.” (h.10)
Karakter dan kebiasaan yang terbentuk dari pendidikan masa kecilnya tidak sia-sia. Perjalanannya dari sekolah hingga menjejak dunia karir terlihat sempurna, meski selalu ada perjuangan di dalamnya. Puncaknya saat Amalia menjadi CEO wanita pertama di Indonesia sebuah perusahaan advertising multi nasional. “Aku, Amalia, anak daerah yang tak pernah mengenyam sekolah di luar negeri--- telah membuktikan bahwa impian tidak datang dari langit. Impian kita harus diraih, diperjuangkan, dan dicintai.” (h. 29)
Kesuksesan karir ternyata tidak sejalan dengan kehidupan rumah tangganya. Perceraian pertama ditempuhnya setelah mengalami ketidaksinkronan hati, tekanan keluarga, dan minimnya komunikasi dengan pasangan. Selang dua tahun, Amalia melangsungkan pernikahan kedua dan dianugerahi dua orang putra, Aqil dan Satria. Ujian hadir saat dia harus menghadapi kecaman dari berbagai pihak di kantor untuk segera turun dari jabatan, karir yang dibangunnya runtuh seketika. Lalu, menyusul pernikahan kedua pun berujung pada perceraian karena suaminya mengajak berpindah keyakinan.
“Tak apa, aku masih memiliki Aqil dan Satria, apalagi rasa nikmat yang masih bisa kusyukuri selain ini?” (h.61)
Hidup selalu diiringi dengan ujian. Aqil, putra pertamanya mengalami keterlambatan bicara dibandingkan anak seusianya. Awalnya, Amalia menganggapnya hal biasa tapi ternyata Aqil tetap tidak memperlihatkan perkembangan yang wajar dalam belajar. Amalia semakin mempertanyakan dirinya, ‘di mana kesalahanku sebagai orangtua?” Secara psikologis, Amalia mulai membanding-bandingkan dengan dirinya yang ‘sempurna’ sejak kecil. Harga dirinya sebagai seorang yang dihormati di dunia komunikasi harus menghadapi kenyataan memiliki anak yang kesulitan membaca dan berhitung!
“Dalam keadaan seperti ini, seringkali anak berkebutuhan khusus yang disalahkan, dan menjadi fokus terapi. Padahal yang perlu disembuhkan pertama kali justru orangtuanya, lingkungannya.” (h. 77)
Proses pemeriksaan dan tes menyatakan Aqil divonis mengidap suspek disleksia, kondisi yang menyebabkannya mengalami gangguan yang signifikan dalam membaca, menulis, dan berhitung. Perjuangan kembali dilakoni Amalia, emosi naik-turun kerap mewarnai keseharian mereka. Pertengkaran antara dirinya dan Aqil sering muncul karena minimnya kesepahaman. Tapi, Amalia terus belajar dan memohon diberikan kekuatan untuk menerima kondisi putranya.
“Aku kini lebih banyak mendengar. Aku belajar untuk duduk, diam, mendengarkan, dan mencerna.” (h.130)
Dari proses yang panjang dan alot, Amalia dan Aqil menemukan sesuatu yang indah, kebersamaan dan bakat yang tidak disangka-sangka. Meski sebagian besar memoar Amalia menyoroti kehidupannya dengan Aqil, si sulung, kehadiran Satria, putra keduanya tak terlupakan dan memperlihatkan problem tersendiri. Dengan layout yang sarat dengan ilustrasi dan pilihan huruf layaknya tulisan tangan membuat isi buku cukup mencerahkan mata.
“Anak-anak membutuhkan keberanian kita untuk menemani mereka bertualang di lautan kehidupan versi mereka. Berpetualang masuk ke dalam imajinasi mereka, merasakan imajinasi mereka. Berdialog dengan bahasa imajinasi mereka. Mereka adalah pribadi-pribadi unik yang memiliki spectrum yang maha luas.” (h. 154)
Dengan menggunakan sudut pandang dari Amalia Prabowo, sudah pasti isi buku lebih banyak berkisah tentang perjuangan dari orangtua untuk merawat anaknya. Ingin rasanya membaca sebuah memoar dari seorang Disleksia, bagaimana dia bertahan hidup dan menghadapi segala perlakuan dari lingkungan yang bisa jadi tidak bersahabat dengan ‘ketidaknormalan’nya.

0 comments:

 

Sahabat si Cilik Template by Ipietoon Cute Blog Design