Judul: Catatan Hati Ibunda
Penulis: Asma Nadia, dkk
Editor: Diyan Sudihardjo, Hilda Emil
Penerbit: Asma Nadia Pusblishing
ISBN: 978-602-9055-19-1
Cetak:Pertama, September 2013
Tebal: viii + 304 hlm
Bintang: 4/5
Harga: Rp. 56.000
“Dan begitu gemasnya aku, ketika mendengar alasan utama yang dipaparkan sekolah ketika meminta anakku mengundurkan diri adalah karena ia tidak normal.” (Aku Percaya Padamu, Malaikat Kecilku ~ h. 98)
Kutipan di atas diambil dari ujian seorang Ibu
yang diamanahi putri hiperaktif nan cerdas tapi kesulitan untuk merangkai
kalimat dalam kesehariannya. Kesulitan semakin rumit ketika si kecil tidak
bersedia mengikuti gurunya karena diperlukan teknik khusus 'merayunya'.
Sayangnya, pihak sekolah sepertinya 'tidak ingin' dipelajari teknik baru di
luar standar mereka. Mungkin istilah pasnya, gak mau ribet.
Saya jadi teringat dengan kalimat dari buku Pak Munif Chatib, "Anak kita
harus memiliki dua kaki yang kuat untuk mendaki. Ketika orangtua dan guru
menjadi sahabat sejati, maka mereka berdua akan menjadi kaki yang kuat untuk
anaknya mendaki." Jika sekolah hanya menerapkan pembelajaran dengan
standar 'anak normal', pendidikan tidak ada berkembang dan bersifat otoriter. Bersyukur akhirnya, sang Ibu tetap berjuang dan menemukan
sekolah yang tetap peduli dalam mendidik anak-anak dengan keistimewaan lebih.
“Aku bukan siapa-siapa, tapi aku ibu anakku. Dan aku yakin Allah menganugerahkan seorang anak istimewa karena Ia tahu aku akan berjuang.” (Aku Percaya Padamu, Malaikat Kecilku ~ h.100)
Belajar menjadi orangtua adalah pengalaman yang
luar biasa. Ada rasa bahagia, antusias, takut, cemas, bahkan bingung. Ya,
Bingung, seperti dalam judul Sekolah menjadi Ibu, salah satu kisah yang membuat
kepala saya mengangguk-angguk. Sebenarnya, kisah ini hanya berisikan
kegelisahan penulis. Sejak hamil penulis ketiban banyak saran, dari orangtua,
dari teman, dari dokter, dan pusingnya, dia tidak tahu harus mengikuti yang
mana.
“.... Kemudian datanglah bulan terakhir kehamilan.
Kata Mertua, aku harus minum rendaman air rumput fatimah
Kata teman, aku harus banyak minum madu supaya jalan lahirnya lancar
Kata saudara, madunya harus dicampur telur ayam kampung mentah
Kata Papa, aku harus banyak jalan spaya bayinya bisa turun ke jalan lahir
Kata Mama, lebih baik latihan mengepel di rumah
Kata dokter, aku harus banyak istirahat karena tensi yang terlalu rendah
Suami tidak berkata apa-apa. Dia sendiri pusing dengan begitu banyaknya saran” (Sekolah Menjadi Ibu ~ h.64)
Situasi yang masih berlanjut setelah kelahiran,
bahkan bisa jadi setelah anak tumbuh dan dewasa. Merasakan hal yang sama,
bukan? Tapi kegelisahan seorang Ibu tak hanya karena faktor luar, tapi juga faktor dalam diri. Pertanyaan tentang apakah
sudah benar dalam mendidik anak, dimana letak kesalahan, kenapa anak tidak bisa menurut,
bermunculan di kepala. Menyusutnya rasa percaya
diri dan ada ketakutan karena sudah atau mungkin akan melakukan kesalahan, sering ‘menyerang’ para Ibu. Saat kesabaran
menghadapi polah anak mulai tergerus kelelahan, teriakan atau pemukulan
dianggap sebagai penuntas masalah.
“Tak jarang mata saya langsung memanas, ingin menangis. Selain karena emosi yang tak terlampiaskan, berbagai perasaan berkecambuk. Saya mendadak merasa seperti ibu yang tidak sabaran, ibu yang bodoh, tidak amanah terhadap titipan Allah, dan berbagai tudingan buruk lainnya. Bagaimana tidak, harusnya saya sadar bahwa Dinda masih terlalu kecil untuk mengerti bahwa ia telah melakukan kesalahan.” (Sesaat, Sebelum Emosi Meledak ~ h.142)
Salah satu konflik yang sering
terjadi antara orangtua dan anak adalah komunikasi. Perbedaan
pendapat antara orangtua dan anak sudah menjadi hal lumrah. Bahkan, ketika
memiliki anak, bisa jadi mengalami perbedaan pendapat dengan ibu kita dalam
mengasuh/menangani anak. Kita yang mempelajari pola asuh melalui buku/internet,
seringkali bertentangan dengan ibu yang masih menerapkan pendidikan zaman dulu.
Tak dipungkiri, peran teknologi menjadikan anak lebih kritis dalam menanggapi
situasi. Orangtua dan sekolah bukan lagi sumber pengetahuan satu-satunya bagi
anak. Maka, tidak perlu kaget, ketika suatu saat anak juga akan berbeda pendapat dengan orangtua.
“Kadang berpikir, apakah aku sekadar mencari-cari alasan ketika tengah berargumen dengan anakku? Apakah sebetulnya kami sebagai orangtua, tengah melindungi kepentingan diri sendiri ketika memaksakan satu kehendak kepada anak-anak?” (Demonstran! ~ h.179)
Kisah-kisah dalam buku Catatan Hati Ibunda,
memperlihatkan sebagian ragam konflik
batin atau lahir yang melanda keluarga. Tak hanya bercerita tentang pengalaman ibu
beranak bayi/balita, tetapi juga remaja dan dewasa. Pembaca tidak akan disuguhi solusi gamblang
di dalamnya, tapi pengalaman selalu menjadi pelajaran berharga, meski
pengalaman tersebut datangnya dari orang lain.
Jangan berpikir bahwa ketika anak sudah tumbuh
remaja/dewasa, orangtua tak perlu memusingkan perkembangannya, karena
permasalahan pada setiap usia anak memiliki tingkatannya. Jadi, tidak ada yang kata berhenti belajar terutama
bagi orangtua karena karakter utama
dari seorang anak terbentuk dari dalam rumah (keluarga).
"Janganlah engkau berpikir tentang hasil akhir dari usahamu mendidik, tetapi bersungguh-sungguhlah dalam mendidik." (Prinsip-Prinsip Dasar Parenting, Ust. Rahmat Abdullah)